Menteri Negara untuk Kekuasaan dan Energi Terbarukan India Piyush Goyal menyatakan, “Kami akan memperkenalkan kendaraan listrik dalam cara yang sangat besar. Kami akan membuat kendaraan listrik mandiri seperti UJALA. Idenya adalah pada tahun 2030, tidak ada mobil bensin atau diesel yang harus dijual di negara ini.” Sang Menteri tentu menyesuaikan dengan keputusan India ikut ramah lingkungan dengan kendaraan elektrik ini.

Seperti dikutip dari nc42.com, hasil studi FICCI dan Rocky Mountain Institute, transisi ke 100% kendaraan listrik dapat membantu India dapat membantu menghemat hingga $ 300 miliar (INR 20 Lakh Cr) dalam impor minyak dan hampir 1 gigatonne emisi karbon dioksida pada 2030. Terlepas dari apakah pemerintah memutuskan untuk beralih pada tahun 2030, transisi ke semua mobil listrik akan menjadi penting agar tidak hanya mengurangi tingkat polusi tetapi juga mengurangi konsumsi bahan bakar fosil tradisional.

Pergerakan ini tentu bukan saja di India. Negara besar lainnya mulai melakukan hal serupa. Perubahan ini bersifat revolusi. Banyak yang sebal karena bisnisnya terancam. Namun emisi yang disumbang oleh mesin bensin sudah di atas 10%. Misalnya di New Zealand saja sudah 12%, padahal negara tersebut tak begitu padat kendaraannya.

Semua karena Tesla sebagai penggedor tren ini. Walaupun bukan pabrikan mobil, namun perusahaan energi, Tesla kemudian diikuti oleh beberapa pabrikan sebagai. Nissan, KIA, bahkan BMW pun mengeluarkan EV mereka. Sedang ditunggu titip persimpangan jalannya, ketika EV akan menyalip kurva mobil konvensional.

Dunia ada di deathwatch untuk kendaraan bensin/diesel. Semakin banyak pemerintah menyetujui peraturan yang akan mengganggu penggunaan kendaraan bertenaga bensin. Eropa dan Cina juga menyebut tahun 2030 sebagai tonggak perubahan. Norwegia ingin menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada tahun 2025. Indonesia? Jokowi sudah melangkah, walaupun masih intens berdiskusi dengan Gaikindo soal teknologi apa yang akan dipakai menjelang ke 2030.


Dirilis dari money.usnews.com, teknologi ini benar-benar akan mengubah permainan. Ada sekitar 17 juta mobil dan truk ringan yang dijual atau disewa setiap tahun di AS, sehingga peluang bagi investor baterai lithium-ion sangat besar. Lebih baik lagi, ada alasan untuk percaya bahwa porsi kendaraan listrik akan terus tumbuh. “Kami sedang mencari untuk mendekati 30 persen dari kendaraan baru pada tahun 2030 di AS,” kata Luke Tonachel, direktur kendaraan bersih dan bahan bakar di Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam di New York.

Jika permintaan AS untuk mobil dan truk ringan tidak berubah pada 2030 maka diproyeksikan akan setara dengan sekitar 5 juta kendaraan listrik baru. Di sisi ini mungkin pabrikan knalpot atau perusahaan doping turbo akan gigit jari, seperti halnya perusahaan pemasok komponen mobil konvensional yang akan memikirkan migrasi bisnisnya. Namun di sisi lain, muncul pebisnis yang akan kaya raya mendapatkan celah bisnis ini.

Semakin banyak mobil elektrik, semakin banyak baterai lithium. Perusahaan pertambangan akan mendapatkan berkahnya. Karena permintaan untuk lithium meningkat sejalan dengan permintaan baterai, pasokan akan memerlukan waktu untuk mengejar ketinggalan. Selama periode mengejar itu, harga untuk logam akan naik. Akhirnya, tentu saja, harga yang lebih tinggi akan mendorong lebih banyak pasokan ketika tambang dikembangkan dan sekali lagi memoderasi biaya logam.

Singkatnya, tren ini tak akan bisa dijegal. Memang memerlukan waktu agar semua pemain konvensional tak kehilangan lebih banyak koceknya. Ini bukan disruptive business. Karena sudah ada ancang-ancang. Masih diberikan waktu. Selama itu pula masih terlihat pro-kontra dan tarik-ulur. Di masa seperti ini, banyak yang juga menjadi mata elang. Melihat potensi dan peluang lain lebih jeli. Tinggal siapa yang lebih siap saja. Katakanlah ini lebih mirip dengan senjakala media cetak. Siapa yang tak kreatif, akan gugur.