Pada jenis BMW marun ini sering dipanggil dengan nama M10, dicuplik dari kode nama mesinnya. Perancang mesinnya bernama Baron Alex von Falkenhausen yang awalnya pebalap motor. Ia diminta BMW mendesain mesin 1,3 L (79 cu in), oleh sebab minat warga Jerman pada mobil kecil dan murah akibat paska Perang Dunia II. Tapi Baron Alex memiliki pandangan jangka panjang, agar BWM memulai startnya di mesin berkapasitas 1,5 L (92 cu in), yang kemudian blok mesin tersebut dapat ditingkatkan hingga 2,0 L (122 cu in).
Akhirnya, mesin ini menjadi sangat fleksibel. Dan dianggap sangat cerdik. Berguna di bermacam sasis termasuk beragam spesifikasi untuk BMW seri 1500, 1600, 2002, 3 dan 5 seri tahun 60-an, 70-an dan 80-an. M10 berhasil melewati BMW 1500 tahun 1961 hingga 318i E30 tahun 1985-88 sebelum distop produksinya.
Sementara mobil milik Ade Jendy ini adalah E30 dengan basis mesin 1.8 L M10 inline-4 yang bisa menghasilkan tenaga 77 kW (105 PS; 104 hp) pada 5.800 rpm dan torsi 145 Nm (107 lb.ft) di 4.500 rpm. Duluuu…, kemampuan ini sangat jos. Tapi kini, mencari mesin M10 yang apik, sungguh sulit ditemukan. Wajar, usianya sudah 30 tahun lebih.
Maka ketika Jendy menemukan BMW E30 M10 dalam keadaan mumpuni dan seger, dia langsung embat! Di mata pemilik bengkel Bavaria Autowerk ini, “Diantara segitu banyak E30 yang pada masih jalan dan bagus, yang M10 gen 1 biasanya buyar. Ambyarr…!”
Namun mengingat populasinya makin sedikit, kemungkinan besar masa depan mobil ini dianggap cerah dimata kolektor atau pehobi mobil. Bentuknya yang boxy, tipis, bokongnya sekilas mirip M3, merupakan penyumbang visualisasi yang enak dipandang. Tapi kalau cari komponen interior dan bodi, banyaklah menabung dan sabar mencari. Sudah jarang, harganya melambung enggak karuan. Solusinya bisa custom. Selain order impor sendiri, masuk forum dan jejaring tenant sebagai menjadi jawaban dalam memelihara mobil klasik.
Kembali ke si marun.
Konsep refreshmentnya adalah original, clean dan velgnya oke oce.
Dua hal pertama sangat mudah dilakukan, apalagi kondisinya cukup seger, sebagaimana sudah dijelaskan di awal artikel. Bodi masih lempeng, nat masih nyata, detail-detail belum hilang.
Jadi velg merupakan kunci berikutnya.
Remotec ini jarang banget bisa ditemukan. Sosok velg legendaris di masanya. “Celongnya udah bawaan orok, enggak perlu modif/bikinan,” ucap kelahiran Tokyo yang punya postur ideal kek Rambo, “Tinggi nan gagah, itulah gua.”
Namun pada bannya, Jendy cari yang tipisan. Accelera Phi 205/40ZR17. Sementara pada rekomendasi awal Remotec, disarankan memakai ban 245/45ZR17. Yaelah, ini Indonesia, enggak narik enggak asyik! Lagian, “Ban Accelera murah dan gaul. Gua ikut arus aja,” ucap Jendy yang bermarkas di jalan Pondok Seruni No. 20, Cinangka, Sawangan.
Sementara pernya, sebelum naik pake air sus, Jendy mencoba benar-benar kembali ke zaman baheula. “Pot-kit…, potong dikit! Murah tapi gaya,” aku Jendy. Kurang dikit, ya dipotong lagi. Basisnya memang tampilan roda ke mobil. Mantesin. Langkah konvensional ini masih memungkinkan, sebab per aslinya memang dikenal andal.
DeepEnd ajak agak jauhan lokasi fotonya, sambil rasakan suspensinya. Masih bisa diterima reasonnya, sembari mengenang masa sekolah dulu. Apalagi duduk di atas jok original Recaro LS yang menjadi “kewajiban” kalau E30 gaya selatan Jakarta. Biar ketara banget retronya.
Ah, sentimentil memang!
Workshop:
Body work, interior & parts application: Bavaria Autowerk @bavaria_autowerk
Paint correction: Color Care @colorcare02
Wheels: Indra Goin @indragoin