Jakarta, awal 1990-an.
Lampu-lampu natrium di Senayan mulai menyala malas. Cahayanya kuning pudar, memantul di atas aspal yang sudah terlalu sering diinjak ambisi. Itu bukan terang, melainkan napas hangat di antara gelap dan bising kota yang belum benar-benar mengerti arti tenang.

Di bawahnya, mobil-mobil berdatangan satu per satu. Pelan, hati-hati, seolah memberi hormat pada tanah yang lebih dulu hafal suara mesin daripada doa. Civic, Corolla, Lancer, Galant, hingga mobil Eropa yang berani bersuara. Tak ada undangan, tak ada janji, hanya kesepakatan sunyi di antara mereka yang paham: Jumat malam adalah waktu suci di Parkir Timur.

Tak ada panggung. Tak ada bendera klub. Tapi ritualnya berjalan sendiri. Lampu jalan menjadi sorot alami; bayangan pohon mahoni menjadi tirai. Di bawahnya, anak-anak muda berdiri, duduk, atau jongkok di sisi mobil mereka, mendengarkan sesuatu yang tak bisa ditangkap telinga biasa. Hanya hati yang berputar bersama piston yang tahu iramanya.

Aroma bensin, asap rokok, dan kopi sachet menari di udara. Kadang letupan tawa pecah; kadang hanya dengung idle yang seirama dengan napas malam. Tak ada DJ, tapi ritmenya jelas: satu putaran gas, satu helaan napas, satu kalimat pendek yang terdengar di antara debu.

“Berapa offset lu, bro?”
Pertanyaan sederhana, tapi di sini, itu salam persaudaraan.

Senayan malam itu bukan sekadar ruang parkir, ia ruang pengakuan.
Di bawah cahaya natrium yang oranye lembut, manusia dan mesin melebur jadi satu bahasa. Ada yang datang untuk menunjukkan hasil kerja tangannya. Ada yang datang hanya untuk belajar, mencatat, mengagumi. Tapi semua tahu: di sinilah jalanan belajar bicara.
Yang datang tak selalu bermobil baru, tapi hampir semuanya punya cerita, tentang menabung, tentang kiriman orang tua, tentang tanggal gajian, demi satu impian: masa depan mobilnya.
Tak ada kasta. Yang mahal hanyalah waktu yang rela dihabiskan di bawah lampu kuning itu.

Bagi sebagian orang, Senayan seperti rumah kedua. Tapi bagi lainnya, ini cermin. Tempat mereka melihat siapa dirinya di balik cat yang mulai pudar atau bodi yang mengilap. Semua punya tempat. Semua punya suara.
Kalau satu mobil mogok, lima orang langsung mendekat. Tak ada aba-aba. Tangan-tangan berminyak bergerak spontan, karena yang mereka bantu bukan sekadar mesin, tapi sesama penghuni malam.

Jam terasa diam, tapi malam terus berjalan. Di antara pendar natrium, setiap orang menciptakan dunianya sendiri. Ada yang menyalakan musik dari tape usang. Ada yang membongkar panel, memastikan kabel grounding tak longgar. Ada yang hanya menatap langit Jakarta yang saat itu masih menyisakan dua atau tiga bintang di antara polusi.
Mereka tak sadar sedang menulis sejarah kecil. Bukan sejarah yang masuk buku, tapi yang tinggal di kepala banyak orang dua dekade kemudian. Ketika dunia sudah berubah, ketika algoritma menggantikan pertemuan, nama “Senayan” masih disebut dengan nada rindu.
Bagi mereka yang pernah di sana, malam-malam itu adalah pelajaran pertama tentang kebersamaan, bahwa hormat dibangun bukan dari emblem di grille, tapi dari waktu yang kau habiskan di bawah mobilmu sendiri.
Mobil bukan sekadar alat transportasi, tapi perpanjangan jiwa.
Tak ada spotlight. Tak ada kamera. Tak ada influencer.

Kalau ingin dikenal, datanglah.
Kalau ingin dihormati, bicaralah lewat hasil tanganmu.
Di masa itu, eksistensi diukur bukan dari likes atau views, tapi dari siapa yang masih berdiri di aspal ketika semua lampu mulai redup.

Di Senayan:
Ada Jakarta Automodified di 2001.
Ada rangkaian Indonesia Auto Contest.
Ada Otobursa.
Ada Jazz Tuning Contest.
Ada sekian banyak acara otomotif, baik R4 maupun R2.
Tentunya ada saya yang nongkrong sama anak mobil, sekaligus liputan di sana.
Pokoknya…, ada banyakkk banget.

Senayan bukan sekadar titik di peta. Ia adalah perasaan, tentang bagaimana kota yang keras bisa terasa hangat, kalau kau tahu di mana harus parkir. Tentang mengenal Maduma, bersapa di toilet dekat patung panah, dan parkir tanpa takut dipalak.

Dan di antara semua suara malam, velg besar, baut lima, blow-off valve, bass dari bagasi, dan tawa kecil antar kawan, selalu ada satu bunyi yang paling pelan, tapi paling lama tinggal di kepala: gumam lampu natrium yang tak pernah tidur, menjaga setiap cerita Senayan agar tak benar-benar padam.
Wahai Senayan, selalulah di hati. ![]()
















