(Sebuah kisah tentang waktu, mesin, dan manusia yang menolak berhenti belajar)
Ada yang magis ketika seseorang memilih menghabiskan waktunya bersama mobil tua. Bukan sekadar tentang logam, bensin, atau suara turbo yang menderu, melainkan tentang bagaimana seseorang menemukan dirinya sendiri di antara karat, baut seret, dan kesunyian garasi.

Mas Diponegoro, pria kelahiran Balikpapan tahun 1976, bukan sekadar pemilik Volvo 740 Turbo Intercooler 1991. Ia adalah penulis kisah panjang tentang ketekunan dan rasa ingin tahu yang bertransformasi menjadi ekspresi personal. Mobil yang awalnya hanya “proyek merapikan” perlahan menjelma menjadi restomod penuh jiwa, perpaduan warisan Swedia dan semangat Indonesia.
“Awalnya nggak ada konsep,” ujarnya, tertawa kecil. “Cuma pengin ngerapiin aja, karena udah lapuk dimakan usia. Tapi makin lama, makin penasaran. Kok mobil aneh begini bisa bikin nagih?”



Pandemi datang.
Dan waktu tiba-tiba melambat.
Dunia berhenti, tapi garasi tidak.
Restorasi menjadi bentuk meditasi.
Saat banyak orang mencari pelarian dari kebosanan, Mas Diponegoro menemukan ketenangan di bunyi kunci sok dan aroma oli.
Tubuh tua itu, Volvo 740 Turbo Intercooler, lahir di era logam dan garis lurus. Desainnya boxy, seolah digambar penggaris baja. Kaku tapi tegas. Banyak orang menyebutnya dingin, terlalu rasional. Tapi justru di situ tantangannya. “Biasanya mobil yang saya modif tuh sporty, tapi Volvo ini beda. Dia seperti keras kepala tapi punya elegansi tersendiri,” aku Dipo.
Restorasi dimulai dari dasar.
Pelat-pelat tua dibersihkan, dilas, dan disusun ulang hingga mobil kembali tegak berdiri.
Satu tahun lebih berlalu. Di setiap lapisan cat baru, selalu ada cerita lama yang muncul ke permukaan.




Lalu datang giliran mesin.
B230FT, redblock legendaris empat silinder SOHC 2.3 liter turbo.
Mesin badak, dengan torsi dalam yang tidak banyak bicara.
Dipo membuka kepala silinder, mengganti semua segel, bearing, dan piston ring.
Napas baru mulai terasa ketika sistem pembuangan 3 inci stainless steel dan Borla muffler terpasang sempurna.
Suara yang keluar bukan raungan, tapi desahan berat.
Dalam, padat, dan menenangkan.
“Kayak manusia yang baru belajar bernapas dalam lagi,” ujarnya.




Lalu datang ide gila: hybrid turbo.
Turbo lama diremajakan dan dibalance ulang agar getarannya halus.
Hasilnya tidak brutal, tapi linear.
Tenaganya naik, tapi tetap elegan.
“Mobil ini kayak tahu kapan harus diam, kapan harus berlari,” ucap Dipo.

Tidak berhenti di situ. Sistem bahan bakar lama kini bekerja dengan Jetronic full injection close loop system lengkap dengan sensor oksigen. Teknologi yang di awal ’90-an terasa futuristik kini menjadi bukti betapa Volvo sudah berpikir jauh ke depan. “Volvo itu over-engineered. Mobil ini dibuat bukan cuma untuk dipakai, tapi untuk dipelajari,” katanya dengan kagum.

Tidak berhenti di mesin, sistem bahan bakar lama diremajakan dengan Jetronic full injection lengkap sensor oksigen, bukti betapa Volvo sudah berpikir jauh di depan zamannya. Setelah jantungnya berdetak sempurna, fokus beralih ke kaki-kaki. Suspensi Tein coil spring dan Bilstein B8 menggantikan komponen lama, sementara Independent Rear Suspension (IRS) dari Volvo 960 membuat mobil lebih stabil di kecepatan tinggi tanpa mengorbankan kenyamanan. “Ceper tapi nggak nyiksa,” katanya singkat.
Velg Ocean DTM 18 inci dengan ban Accelera IOTA EVT melengkapi tampilan stance-nya yang pas. Sistem rem tetap standar, dengan empat cakram ABS bawaan pabrik yang masih bekerja presisi. “Kadang saya lupa kalau ini mobil umur tiga puluh tahun,” aku Dipo.

Desain kotak Volvo yang dulu dianggap kaku kini justru jadi identitas. Dipo melengkapinya dengan Volvo Aero Kit dan Pfeba trunk spoiler. Warna biru metaliknya memantulkan cahaya seperti laut Balikpapan pagi hari. “Swedish design itu bukan soal pamer, tapi soal harmoni,” ujarnya. Setiap detail punya fungsi; tidak ada yang berlebihan.
Masuk ke kabin, nuansa berubah: Recaro LS N-Joy, setir Roma, dan sistem audio Alpine berpadu delapan speaker Volvo menciptakan suasana hangat dan tenang. “Kadang malam-malam saya cuma duduk, nyalain musik. Nggak ke mana-mana,” katanya pelan. Filosofi Skandinavia terasa di sini: sederhana tapi berjiwa.
Mengapa Volvo? “Karena susah,” jawabnya jujur. Tantangan itu membuatnya bertahan. Baginya, modifikasi bukan soal gaya, tapi perjalanan pribadi. “Saya pengin punya mobil yang bisa diajak jauh tapi tetap punya karakter.”
Kini, Volvo 740 Turbo Intercooler miliknya menjelma sport sedan sejati. Nyaman di jalan jauh, tapi tetap menyimpan jiwa klasiknya.

Mr. Sambo, begitu Dipo menamainya, kini hidup kembali.
“I was built strong. He made me alive again.” ![]()





























